Pemahaman mengenai pentingnya daya saing berkembang seiring
dengan semakin berkembangnya globalisasi dan perdagangan bebas. Daya saing
secara garis besar diukur berdasarkan kondisi institusi, kebijakan, dan
faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas ekonomi suatu negara.
Produktivitas yang tinggi mencerminkan daya saing tinggi dan
daya saing tinggi berpotensi menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Daya
saing tinggi menuntut pemenuhan “prasyarat dasar” yang diantaranya meliputi
infrastruktur, kualitas kelembagaan birokrasi, stabilitas ekonomi makro, serta
pendidikan.
Inpres No. 6 Tahun 2014 dan Strategi
Peningkatan Daya Saing
Pemerintah RI terus meningkatkan komitmennya dalam mendukung
optimalisasi daya saing guna memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang
berkualitas, dengan terbitnya Inpres No. 6 Tahun 2014 pada 1 September
2014.
Melalui Inpres tersebut, Presiden RI menginstruksikan kepada
jajaran pemerintah di seluruh Indonesia, untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing secara
terkoordinasi dan terintegrasi untuk meningkatkan daya saing nasional dan
melakukan persiapan pelaksanaan MEA yang akan dimulai pada Tahun 2015.
Diharapkan melalui Inpres tersebut peningkatan daya saing dapat
terus ditingkatkan, utamanya dengan mengedepankan beberapa strategi dasar di
antaranya:
·
Pengembangan industri nasional yang berfokus pada pengembangan
industri prioritas dalam rangka memenuhi pasar ASEAN; pengembangan industri
dalam rangka mengamankan pasar dalam negeri. Selanjutnya, pengambangan industri
kecil menengah; pengembangan SDM dan penelitian; dan penerapan Standar Nasional
Indonesia (SNI).
·
Pengembangan pertanian, dengan fokus pada peningkatan investasi
langsung di sektor pertanian, dan peningkatan akses pasar.
·
Pengembangan kelautan dan perikanan, dengan fokus pada penguatan
kelembagaan dan posisi kelautan dan perikanan; penguatan daya saing kelautan
dan perikanan; penguatan pasar dalam negeri; dan penguatan dan peningkatan
pasar ekspor.
·
Pengembangan energi, yang fokus pada pengembangan sub sektor
ketenagalistrikan dan pengurangan penggunaan energi fosil (Bahan Bakar Minyak);
sub sektor energi baru, terbarukan dan konservasi energi; dan peningkatan
pasokan energi dan listrik agar dapat bersaing dengan negara yang memiliki
infrastruktur lebih baik.
Selain
itu masih ada sepuluh sektor pengembangan lainnya, yang meliputi pengembangan
infrastruktur; pengembangan sistem logistik nasional; pengembangan perbankan;
investasi; usaha mikro, kecil, dan menengah; tenaga kerja; kesehatan;
perdagangan; kepariwisataan; dan kewirausahaan.
Kita patut bersyukur upaya untuk terus meningkatkan daya saing
secara bertahap di Indonesia telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan,
meskipun harus diakui masih terdapat berbagai kekurangan yang menjadi
tugas bersama untuk terus memperbaikinya.
Meningkatnya daya saing Indonesia tercermin dari laporan Forum
Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) pada Selasa (2/9), yang
merilis Indeks Daya Saing Global 2014-2015. Dalam rilis itu dikemukakan, daya
saing Indonesia naik 4 tingkat menjadi peringkat 34 dari 144 negara di dunia.
Peringkat Indonesia mengungguli Spanyol (35), Portugal (36),
Filipina (52), Rusia (53), Brasil (57), India (71), Yunani (81), Mesir (119)
dan Pakistan (129). Pada tahun 2012 daya saing Indonesia ada pada peringkat 50,
tahun 2013 urutan ke-38 dan tahun ini menempati urutan ke-34.
Membaiknya daya saing Indonesia antara lain ditopang oleh
‘prestasi’ pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 5,8% per tahun sejak
2005. Di tengah melambatnya perekonomian global, pertumbuhan ekonomi nasional
di atas 5%.
Peningkatan daya saing Indonesia juga banyak didorong oleh
kemajuan pembangunan infrastruktur. Meskipun infrastruktur kita masih banyak
masalah, namun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir progresnya cepat, terutama
infrastruktur konektivitas.
Kenaikan peringkat daya saing Indonesia seyogyanya dapat terus
diupayakan percepatannya dalam menghadapi persaingan MEA 2015 mendatang,
strategi utama yang dapat dipertimbangkan adalah memacu percepatan reformasi
birokrasi.
Hal ini didasari atas kenyataan masih belum kondusifnya
dukungan birokrasi dalam mengoptimalkan peningkatan daya saing, terutama
terkait dengan mengembangkan kemudahan berbisnis (doing business) sebagai salah
satu tolok ukur utama daya saing negara.
Dari berbagai riset dan literatur sudah diidentifikasi bahwa
rendahnya kapasitas kelembagaan birokrasi merupakan penyebab rendahnya tingkat
kemudahan menjalankan bisnis di Indonesia.
Hal ini kontraproduktif dengan proyeksi semakin
meningkatnya kompleksitas pengelolaan makroekonomi jelang pemberlakuan MEA
2015, yang memerlukan penguatan dan peningkatan kapasitas
institusional secara memadai dan berkesinambungan.
Kapasitas kelembagaan birokrasi bukan hanya mencakup institusi
yang efisien, namun juga jajaran staf birokrasi yang berkualitas dan regulasi
yang kondusif bagi pengembangan iklim investasi.
Survei yang dilakukan Bank Dunia juga menunjukkan korelasi kuat
antara tingkat kemudahan menjalankan bisnis dan tingkat daya saing ekonomi.
Masalah pemberdayaan kelembagaan birokrasi tampaknya memang menjadi soal sangat
serius bagi Indonesia ke depannya.
Upaya-upaya berkelanjutan dalam menciptakan efektif dan
efisiensi birokrasi seyogyanya menjadi upaya bersama untuk diwujudkan
percepatannya. Kementerian/lembaga yang terkait dengan pelayanan publik harus
menjadi aktor-aktor utama perubahan kelembagaan yang lebih baik yang diikuti
dengan kesamaan dalam menerjemahkan visi sampai dengan level birokrasi di
pemerintah daerah.
Di tingkat daerah, pemerintah daerah seyogyanya mengubah
paradigma penggalian pendapatan daerah yang bersumber dari pungutan daerah,
serta menjadikan pemodal atau investor yang akan menanamkan modalnya di
daerah sebagai pihak yang membutuhkan pelayanan yang baik.
Harus dipahami bahwa persaingan di tingkat regional Asean, Asia,
bahkan global, akan menghadapkan birokrasi pemerintahan Indonesia dengan
negara-negara lain. Maka, unsur birokrasi pemerintahan pada level pusat dan
daerah, harus bersiap diri untuk berkompetisi dengan birokrat dari
negara-negara lain.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk basis
inovasi di kelembagaan pemerintahan juga perlu dilakukan karena arah birokrasi
ke depan adalah otomasi atau bahkan digitalisasi yang akan makin mengefisienkan
roda birokrasi.
Implementasi prinsip-prinsip effective and efficient government
dengan menata ulang struktur birokrasi, memacu daya adaptasi birokrasi terhadap
perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, merupakan kata kunci dalam
mengoptimalkan peran kelembagaan birokrasi bagi peningkatan daya saing nasional.
Dari sisi SDM, perlu terus diupayakan
membangun meritokrasi sistem staffing birokrasi, melalui implementasi open
recruitment, dengan open recruitment, diharapkan akan didapatkan
calon-calon yang kapabel untuk memegang jabatan tertentu.
Menata ulang kelembagaan dan SDM birokrasi seyogyanya
menjadi prioritas pada semua tataran birokrasi, mengingat semakin ketatnya
persaingan ekonomi kawasan pada masa mendatang.
Ketatnya persaingan akan menjadikan semakin sentralnya
peran birokrasi sebagai “center of activity” yang menjamin akselerasi
berbagai implementasi kebijakan dan program yang dirancang untuk
memenangkan persaingan jelang MEA 2015.
Birokrasi harus mampu memberi sumbangsih dalam
pemberdayaan masyarakat, menjadi katalisator dan inovator serta membangun
kompetisi dalam arti positip, menjadikan birokrasinya saling bersaing, antar
bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan barang-barang
kebutuhan publik.
Transformasi jiwa-jiwa entrepreneurship ke dalam birokrasi
dapat menjadi alternatif solusi dalam menjawab tantangan tersebut,
mewirausahakan birokrasi sejatinya adalah sebuah usaha reformasi
birokrasi dari aspek sumber daya manusia, yang dapat dilakukan paralel
dengan usaha untuk mereformasi birokrasi dari aspek sistem dan
kelembagaan birokrasi yang ada.
Mentransformasikan jiwa-jiwa entrepreneurship ke dalam
birokrasi, membangun pemerintahan yang kompetitif dan berwawasan ke depan,
sebagaimana konsepsi David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku
“Reinventing Goverment” tampaknya layak dipertimbangkan dalam menyongsong
pemberlakuan MEA 2015.
Mengembangkan spirit wirausahawan pada birokrasi dapat menjadi
alternatif pilihan dalam memenangkan persaingan MEA 2015, dengan mewirausahakan
birokasi akan menghasilkan individu-individu birokrasi yang beroreintasi kepada
tindakan yang bermotivasi tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya, efesien,
kreatif dan inovatif dalam memasarkan potensi unggulan daerah, agar
memiliki nilai tambah ekonomi tinggi.
Sikap-sikap mental yang positif dari jiwa-jiwa
entrepreneurship seyogyanya dapat menjadi sebuah daya yang besar dalam
mengoptimalkan kinerja birokrasi dalam mengembangkan investasi,
mengatasi masalah ketenagakerjaan, pembangunan infrastruktur dan mengembangkan
ekonomi kreatif.
Optimalisasi kinerja birokrasi sangat dibutuhkan dalam
memenangkan kompetisi yang terjadi di segala lini dari mulai persaingan
mendapatkan investasi, kualitas dan harga jual produk ekspor, pasar tenaga
kerja, kualitas infrastruktur, hingga regulasi yang pro-investasi.
Kita tentunya berharap dengan mentransformasi spirit kewirausahaan dalam
birokrasi akan dapat semakin meningkatkan kinerja birokrasi dalam
memperkuat daya saing ekonomi nasional dalam memenangkan persaingan MEA
2015, sehingga dapat mempercepat terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sumber:
http://setkab.go.id/peningkatan-daya-saing-ekonomi-dan-peran-birokrasi/
http://www.bappenas.go.id/berita-dan-siaran-pers/pentingnya-peningkatan-daya-saing-nasional-bagi-indonesia/