Pada bagian ini berbagai undang-undang
tersebut dikaji untuk melihat bagaimana pengaturan pada aspek-aspek keberlanjutan,
perlindungan pada masyarakat adat, partisipasi publik, daya penegakan hukum,
hubungan negara dengan sumber daya alam, sinkronisasi dengan perundang-undangan
lain, penghormatan hak asasi manusia, desentralisasi, dan kelembagaan.
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
UUPA adalah produk hukum nasional
pertama yang mengatur tentang sumber daya alam. UUPA mengartikan sumber daya
alam (agraria) sebagai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “seluruh bumi, air
dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam
wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan YME adalah bumi, air dan
ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.
Berkaitan dengan cakupan agraria ini,
maka muncul pertanyaan apakah sumber daya alam yang terdiri dari bumi,
air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu
harus dipandang sebagai kesatuan ekologi yang utuh dan saling terkait
(ekosistem), atau dapat dipandang sebagai jenis-jenis sumber daya alam yang
bisa dikuasai dan dikelola secara terpisah? Dalam hubungan ini, UUPA memang
tidak secara tegas membahas mengenai keutuhan dan salingterkaitan antara sumber
daya alam ini, namun pengaturan tentang penguasaan tanah memberikan jawaban
pada pertanyaan itu. Pasal 4 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa hak-hak atas tanah
memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah, tubuh bumi, air serta ruang yang
ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah dan dalam batas-batas yang diatur oleh undang-undang.
UUPA lebih banyak mengatur tentang
dasar-dasar penguasaan sumber daya alam. Hanya ada satu pasal yang mengatur
tentang pengalokasian pemanfaatan sumber daya alam. Pasal 14 yang menjadi dasar
bagi perencanaan pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya alam menyatakan
bahwa perencanaan pemanfataan sumber daya alam dilakukan untuk keperluan
negara, peribadatan, pusat kehidupan sosial budaya dan kesejahteraan
masyarakat, pengembangan produksi pertanian, peternakan, perikanan serta
pengembangan industri, transmigrasi, dan pertambangan. Sementara itu, berkaitan
dengan kelestarian pengelolaan sumber daya alam, UUPA hanya menyebutkan di Pasal
15 bahwa “memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah
kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum, atau instansi yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang
ekonominya lemah.”
Namun demikian, selama tiga dekade
terakhir ini kebijakan pertanahan selama pemerintahan orde baru yang bercorak
sentralistik telah menimbulkan dampak bagi sumber daya alam, terutama degradasi
kualitas tanah pertanian yang banyak dialihfungsikan menjadi areal perumahan
mewah (real estate), kawasan industri, dan bahkan menjadi komoditi untuk
investasi dan spekulasi para pemilik modal yang mengakibatkan tanah
ditelantarkan dalam jangka waktu yang tidak tertentu. Implikasi sosial-budaya
yang ditimbulkan adalah terjadinya berbagai konflik vertikal maupun horisontal
di daerah antara masyarakat dengan pemerintah atau masyarakat dengan pemodal
besar, karena terjadi penggusuran atau pengabaian atas hak-hak
masyarakat adat/lokal dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
UUPA yang secara tegas menyatakan
berlandaskan hukum adat, memberikan batasan pada hukum adat. Dalam Pasal 5
disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa
ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan pada persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya, serta segala sesuatu yang mengindahkan unsur-unsur
yang bersandarkan pada hukum agama.
Pilihan untuk menjadikan hukum adat
sebagai dasar hukum agraria nasional dilakukan mengingat UUPA dimaksudkan
sebagai undang-undang yang bersumber dari kesadaran hukum rakyat banyak. Dalam
kenyataannya bagian terbesar dari rakyat Indonesia tunduk pada hukum adat.
Namun, UUPA memandang bahwa hukum adat perlu disempurnakan karena dalam
perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kolonial yang kapitalistik dan
masyarakat swapraja yang feodal. Penyempurnaan hukum adat dilakukan melalui
penyesuaian dengan kepentingan masyarakat dalam konteks negara moderen dan
hubungan negara dengan dunia internasional serta sosialisme Indonesia
(penjelasan umum III angka 1).
Dalam kenyataannya, tanpa kriteria
yang jelas, kepentingan bangsa dan negara acapkali ditafsirkan sama dengan
kepentingan beberapa kelompok orang yang sedang memegang kekuasaan
(pemerintah). Dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara maka hak-hak
rakyat atas sumber daya alam yang bersumber dari hukum adat sering diabaikan.
Hak-hak rakyat yang dalam bahasa UUPA dikatakan sebagai hak ulayat dan hak
serupa itu diberikan dalam konteks kesesuaiaannya dengan kepentingan nasional
dan kepentingan negara yang tidak terdefinisikan secara jelas serta
kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan lain yang pada kenyataannya
justru mengingkari hak-hak masyarakat adat.
Meskipun UUPA memberikan pengakuan
yang mendua pada masyarakat adat, namun untuk perorangan warga negara
Indonesia, cukup diberikan peluang untuk mendapatkan hak individual atas tanah.
Pasal 16 UUPA memberikan berbagai peluang untuk menguasai tanah dengan berbagai
alas hak: hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa,
dan sebagainya.
UUPA menganut pandangan bahwa urusan
agraria pada dasar-nya adalah urusan pemerintah pusat. UUPA tidak mengatur
secara rinci tentang kewenangan dan peran pemerintah daerah. Kewenangan
pemerintah daerah adalah pelaksanaan dari tugas pembantuan.Pemerintah, atau
lebih khusus lagi pemerintah pusat menempati peran strategis dalam UUPA. Dengan
demikian dapat dipahami jika partisipasi publik tidak mendapat ruang dalam
undang-undang ini.
Penegakan hukum dalam UUPA utamanya
diarahkan pada pelanggaran kewajiban memelihara tanah dari para pemegang hak
atas tanah, pendaftaran tanah, pelanggaran berkaitan dengan hak milik adat,
penggunaan tanah bukan oleh pemilik, dan pelanggaran ketentuan peralihan hak
atas tanah. UUPA tidak memberikan penjelasan mengapa penegakan hukum hanya
diberikan pada hal-hal tersebut, tetapi tidak pada hal lain, seperti halnya
pelanggaran dalam prosedur pencabutan hak atas tanah atau tidak terpenuhinya
berbagai kewajiban pemerintah yang ditetapkan dalam UUPA.
2. Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan
Pemahaman tentang sumber daya alam dalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 bersifat reduksionis. Sumber daya alam lebih
banyak dilihat sebagai komoditi. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
pertambangan mengartikan sumber daya tambang sebagai bahan galian (unsur kimia,
mineral, biji dan batuan yang merupakan endapan alam) yang merupakan kekayaan
nasional yang dikuasai dan dipergunakan negara untuk kemakmuran rakyat.
Selain pandangan reduksionis tentang
sumber daya alam, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 lebih menitikberatkan
perhatian pada eksploitasi (use-oriented) dari pada kelestarian sumber daya
tambang. Undang-undang ini hanya memberikan satu pasal ini hanya
memberikan satu pasal perlindungan lingkungan dari kegiatan pertambangan.
Pengaturan tersebut bahkan hanya berlaku pada kegiatan pasca penambangan,
dengan menyatakan bahwa “apabila selesai melakukan penambangan bahan galian
pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan
diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan
bahaya penyakit atau bahaya lain bagi masyarakat sekitarnya.” Dengan ketentuan
semacam itu maka undang-undang ini kurang memberi perhatian pada upaya
konservasi sumber daya alam dan lingkungannya.
Pemanfaatan sumber daya tambang
diarahkan untuk meningkat-kan pendapatan negara yang dilakukan dengan
mengundang investor besar. Dengan demikian undang-undang ini sarat dengan
orientasi ekonomi dan kapital (economic and capital oriented).Undang-undang
pertambangan ini juga bersifat sentralistik. Penguasan, pemanfaatan, dan
pengusahaan serta perijinan usaha pertambangan umum ditetapkan oleh pemerintah
pusat (Menteri Pertambangan). Pemerintah daerah hanya berhak melaksanakan
penguasaan negara dan mengatur usaha pertambangan untuk bahan galian golongan C
seperti pasir, kapur, belerang, dan lain-lain yang kurang bernilai ekonomis
tinggi. Sedangkan, bahan galian tambang golongan A dan B seperti
emas, tembaga, nikel, minyak dan gas bumi, batu bara, timah, bauksit, dan
lain-lain menjadi bagian dari kewenangan pemerintah pusat.
Dengan semangat sentralistik itu pula
maka tidak ada ruang bagi pengaturan mengenai partisipasi publik dalam proses
pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya tambang.
Kontrol publikpun dalam pengelolaan sumber daya tambang sejak awal tidak diatur
dalam undang-undang ini. Masyarakat terutama yang berdiam di wilayah yang akan
dilakukan kegiatan pertambangan tidak pernah diberi informasi dan dimintakan
persetujuan bagi rencana pemberian ijin pertambangan. Hal ini mengabaikan satu
prinsip penting dalam pengelolaan sumber daya alam yang dikenal sebagai prior
informed-consent principle.
Pengakuan pada hak-hak masyarakat adat
diintegrasikan dalam pengaturan tentang pertambangan rakyat. Undang-undang ini
menafsirkan bahwa rakyat setempat yang mengusahakan kegiatan pertambangan
dipastikan sebagai masyarakat yang terikat oleh hukum adat. Dalam kenyataannya,
tidak semua rakyat setempat adalah masyarakat adat, dan tidak semua
pertambangan rakyat dilakukan oleh masyarakat adat. Membatasi hak masyarakat
adat hanya pada pengelolaan tambang skala kecil (pertambangan rakyat) merupakan
wujud sikap diskriminatif pada masyarakat adat dalam penguasaan dan pemanfaatan
sumber daya tambang.
Implikasi pengaturan pengelolaan
sumber daya tambang yang bercorak sentralistik, sektoral, dan diskriminatif
secara nyata menimbulkan dampak negatif bagi ekologi dan lingkungan hidup.
Operasi dari usaha pertambangan menimbulkan kerusakan tanah, air, dan degradasi
sumber daya alam hayati. Pasal 30 yang mengatur kewajiban pengusaha untuk
melakukan reklamasi dan rehabilitasi ternyata bukan dimaksudkan sebagai upaya
untuk konservasi, reklamasi, rehabilitasi, atau mengembalikan fungsi lingkungan
hidup, tetapi hanya sekadar sebagai upaya untuk mencegah kemungkinan timbulnya
penyakit.
3. Undang-undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Air yang dimaksudkan dalam UU ini
adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah,
termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut
yang berada di darat.
Meski tergolong relatif baru semangat
yang ada di dalam UU ini adalah penguasaan air beserta sumber-sumbernya
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang masih berpusat pada
negara, semangat ini kemudian mendorong munculnya semangat
privatisasi air yang lebih sekedar menguntungkan pihak swasta. Semangat
privatisasi ini lebih melihat air sebagai komoditas yang jelas-jelas
bertentangan dengan UUD 1945, hak-hak masyarakat termasuk di dalamnya masyarakat
adat tidak diakomodatif.
Peran yang besar dari pemerintah itu
sekaligus menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya air bertumpu pada negara
yang pelaksanaannya dijalankan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
daerah.
4. Undang-undang
Nomor tahun 2004 tentang Perikanan
Undang-undang Perikanan ini terdiri
dari 17 bab dan 110 pasal yang pada intinya mengatur dan meberikan landasan
hukum bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimal dan
berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu aspek
yang diatur dalam UU ini adalah wilayah dan pengelolaan perikanan. Disebutkan
bahwa wilayah pengelolaan perikanan mencakup perairan Indonesia, Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan sungai, danau, waduk, dan genangan air lainnya
yang dapat digunakan untuk kegiatan pembudidayaan ikan. Dilihat dari sisi ini,
cakupan UU ini sudah cukup memayungi semua kegiatan perikanan yang ada sehingga
semua kegiatan pengelolaan perikanan diatur oleh UU ini. Selanjutnya juga
disebutkan bahwa kegiatan pengelolaan perikanan selain diatur oleh peraturan
perundang-undangan yang ada juga diselenggarakan berdasarkan peraturan standar
internasional yang diterima secara umum. Ciri sumberdaya perikanan adalah
terbuka dan milik bersama serta bersifat migratif. Dan, oleh kerja sama
internasional memegang peranan penting dan menentukan dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan. Kerja sama internasional baik secara bilateral maupun
multilateral yang bersifat mengikat maupun sukarela akan menjadi dominan dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan di masa mendatang.
Dengan dicantumkannya pasal ini yang
merupakan ketentuan baru yang sebelumnya tidak diatur dalam UU terdahulu maka
UU Perikanan ini telah mengakomodasi dengan baik masalah kerja sama
internasional ini. Pasal ini merupakan ketentuan penting yang menjadi bukti
kesiapan Indonesia dalam menghadapi berbagai kerja sama dan kompetisi
internasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Dengan demikian UU
Perikanan telah secara baik mengantisipasi berbagai kecenderungan yang
berkembang dewasa ini dalam dunia perikanan.
Aspek lain yang menarik dalam UU
Perikanan ini adalah pengakuan akan hukum-hukum adat, kearifan lokal dan peran
serta masyarakat. Ketentuan ini diatur dalam pasal 6 ayat (2). Ayat sebelumnya
dalam pasal 6 tersebut menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan dalam wilayah
Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan
berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Dari pasal-pasal
yang disebutkan tersebut tampak jelas bahwa konsepsi yang melatarbelakangi
pengelolaan perikanan di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UU Perikanan
ini adalah memakai prinsip-prinsip dari sustainable development dalam arti yang
sesungguhnya. Pada saat yang sama UU Perikanan ini juga sangat berwawasan
internasional dan berdimensi lokal. Dilihat dari sisi ini UU Perikanan ini
merupakan UU yang sangat up to date dan beorientasi jauh ke depan mengikuti
perkembangan dan kecenderungan internasional yang ada.
UU Perikanan juga mengatur ketentuan
tentang usaha perikanan. Disebutkan bahwa usaha perikanan dilaksanakan dengan
sistem bisnis perikanan yang meliputi kegiatan pra-produksi, produksi,
pengolahan, dan pemasaran. Selanjutnya pasal-pasal lain dalam Bab Usaha
Perikanan mengatur penyelenggaraan pembinaan dan pengaturan izin bagi para
pelaku usaha perikanan. Satu hal yang menarik adalah bahwa UU Perikanan tidak
hanya mengatur aspek produksi tapi juga aspek pendukung lainnya seperti
pengolahan dan pemasaran. Dengan demikian pembinaan terhadap usaha perikanan
dilakukan secara bersama oleh instansi terkait.
Sebagaimana diketahui selama ini
pembinaan terhadap aspek pengolahan dan pemasaran dilaksanakan oleh instansi
yang bertanggung jawab di bidang perdagangan dan perindustrian yang terkadang
kurang memiliki koordinasi dan keterkaitan dengan instansi yang bertanggung
jawab di bidang pra-produksi dan produksi. Dengan adanya pengaturan ini maka
diharapkan adanya koordinasi yang lebih baik sehingga pembinaan dan
pengembangan usaha perikanan akan semakin tertata dengan baik dan menghasilkan
sebuah industri yang kuat dan tangguh. Selain mengatur usaha perikanan secara
keseluruhan UU Perikanan juga memberikan perhatian khusus terhadap pemberdayaan
nelayan dan pembudi daya ikan berskala kecil. Perhatian khusus ini diwujudkan
dalam pasal-pasal yang mengatur tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan
skim kredit dan akses manajemen, penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan
penyuluhan bagi nelayan dan pembudi daya ikan kecil. UU Perikanan juga mengatur
usaha kemitraan antara pengusaha perikanan dan kelompok-kelompok nelayan kecil
dalam suatu kerja sama yang menguntungkan. Di sisi lain, nelayan-nelayan kecil
pun diberikan akses yang sangat luas untuk menangkap dan mengelola kegiatan
perikanan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Dilihat dari sisi
ini tampak bahwa UU Perikanan disusun dengan semangat pemerataan yang kuat
namun tanpa mengorbankan pertumbuhan yang biasa didapat dari kegiatan ekonomi
berskala besar. Aspek ini penting untuk dikedepankan agar pengalaman pahit
dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang justru menimbulkan konflik-konflik
sosial di masa lalu tidak terulang. Hal ini karena ketentuan dan peraturan yang
ada tidak secara eksplisit dan spesifik memberikan perhatian dan komitmen bagi
pemberdayaan masyarakat dan usaha berskala kecil. Dengan pengaturan sedemikian
maka akan tercipta secara proporsional hak dan kewajiban berbagai pelaku usaha
perikanan sehingga manfaat yang setara diperoleh para nelayan dan pembudidaya
kecil maupun para pengusaha perikanan dari kegiatan pengelolaan sumberdaya
perikanan.
Selain dari aspek-aspek itu, UU
Perikanan juga mengatur pengawasan dan ketentuan peradilan lainnya.Hal yang
penting diatur dalam aspek ini adalah pembentukan pengadilan perikanan yang berada
di lingkungan peradilan umum. Dalam aspek ini juga diatur kegiatan penyidikan
dalam perkara tindak pidana yang ada dalam kewenangan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
serta berbagai sanksi pidana bagi pihak yang melakukan pelanggaran terhadap UU
Perikanan ini.
Sebagaimana diketahui praktik illegal,
unregulated, dan unreported (IUU) atau pencurian ikan merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan manfaat dari sumberdaya perikanan belum sepenuhnya
dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Kegiatan ini telah membawa kerugian banyak
kepada negara, dan diperkirakan jumlah kerugian yang diakibatkan oleh IUU
sebesar 2-4 milliar dolar AS per tahun. Berbagai upaya telah banyak dilakukan
untuk memberantas kegiatan ini, namun karena legal means yang ada belum cukup
kuat dalam mengatur dan menangani kegiatan ini maka penyelesaiannya berjalan
sangat lamban dan bertele-tele. Di samping itu, koordinasi antara instansi juga
belum terjalin dengan baik dalam penanganan masalah ini. Adanya ketentuan yang
mengatur masalah ini sebagaimana tercantum dalam UU Perikanan baik yang
menyangkut kewenangan instansi dalam penyidikan, pembentukan peradilan
perikanan, dan sanksi hukum yang cukup berat maka kini diharapkan penyelesaian
kasus-kasus pencurian ikan dapat ditangani lebih cepat dan tidak ada alasan
lagi bagi aparat hukum untuk berlindung di balik ketiadaan dan kekurangkuatan
landasan hukum. Dengan demikian kita mengharapkan kegiatan IUU dapat ditekan
seminimal mungkin dan ketersediaan sumberdaya perikanan memberikan manfaat
ekonomi yang lebih besar lagi bagi masyarakat dan pemerintah.Meski UU ini cukup
akomodatif dan visioner, namun sayang bahwa pengaturannya masih bersifat
sektoral
5. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Penegasan tentang sifat keutuhan dan
kesalingterkaitan sumber daya alam tampak dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang
ini mengartikan sumber daya alam hayati sebagai unsur-unsur hayati di alam yang
terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani
(satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya yang secara
keseluruhan membentuk ekosistem. Unsur-unsur dalam sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lain dan
saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan
berakibat terganggunya ekosistem.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 lebih
banyak memusatkan perhatian pada pengaturan tentang kelestarian sumber daya
alam. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan
ekosistem, sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan mutu kehidupan manusia. Konservasi sumber daya alam dilakukan dengan
kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemhya serta pemanfaatan secara lestari sumber
daya alam dan ekosistemnya.
Pasal 4 undang-undang ini menyebutkan
bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan
tanggung-jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Namun, bagian terbesar
dari isi undang-undang berkaitan dengan dominasi peran pemerintah. Pengaturan
tentang peran masyarakat diberikan dalam Bab IX Pasal 37. Peran
serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya
guna dan berhasil guna (Pasal 37 ayat (1)). Dengan pengertian demikian, maka
peran serta yang dimaksud bukan partisipasi sejati dari rakyat (genuine public
participation) melainkan mobilisasi yang dilakukan pemerintah pada rakyat.
Peran pemerintah sangat besar dalam
kegiatan-kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Pemerintah menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem
penyangga kehidupan; menetapkan pola dasar pembinaan wilayah perlindungan dan
sistem penyangga kehidupan; menetapkan pengaturan cara pemanfaatan wilayah
perlindungan sistem penyangga kehidupan; mengatur dan menertibkan penggunaan
dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang terletak dalam
wilayah perlindungan dan sistem penyangga kehidupan; menetapkan dan mengelola
kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan pelestarian alam
(taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam). Dengan besarnya peran
pemerintah itu maka ruang bagi masyarakat adat melakukan kegiatan konservasi
sumber daya alam hampir tidak ada. Undang-undang ini tidak menyebutkan
sedikitpun pengaturan tentang masyarakat adat, meskipun masyarakat adat di
berbagai tempat mempunyai pranata, pengetahuan dan pengalaman konservasi sumber
daya alam.
Peran pemerintah dalam konservasi
sumber daya alam dan ekosistemnya dipahami sebagai konsekuensi dari penguasaan
negara pada sumber daya alam (penjelasan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal
34 ayat (1)). Karena itulah maka hak masyarakat adat tidak mendapat
tempat yang memadai. Undang-undang ini bahkan lebih memilih menyerahkan
pengelolaan zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata
alam melalui pemberian hak pengusahaan kepada koperasi, badan usaha milik
negara, perusahaan swasta dan perorangan.
Konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dalam pandangan undang-undang ini adalah urusan negara yang
kemudian dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya dapat
menjalankan urusan ini jika mendapat pendelegasian wewenang ataupun
menjalankannya sebagai tugas pembantuan dari pemerintah pusat. Meskipun memberi
porsi besar bagi pemerintah pusat, tidak ada penjelasan tentang unsur
pemerintahan mana yang bertanggung-jawab secara kelembagaan untuk menjalankan
undang-undang ini. Karena itu tidak ditemukan kegiatan konservasi sumber daya
alam hayati yang terpadu, karena masing-masing lembaga menginter-pretasikan
sendiri mengenai konservasi ini sesuai dengan dasar-dasar kebijakannya yang
bersifat sektoral.
Undang-undang Nomor 5 Tahun
1990 ini sarat mengatur hak negara tetapi tidak banyak memberikan pengaturan
tentang hak rakyat, apalagi dalam konteks pengakuan hak asasi manusia.
Pengaturan yang diberikan kepada rakyat semata-mata berkaitan dengan kewajiban
dan larangan-larangan yang diancam dengan hukuman pidana.
6. Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
mendefinsikan hutan sebagai kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sumber daya
hutan dengan demikian tidak dilihat sebagai sekumpulan komoditi tetapi juga
ekosistem yang unsur-unsurnya saling terkait.
Penyelenggaraan kehutanan disebutkan
berasaskan pada manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,
keterbukaan, dan keterpaduan. Asas manfaat dan lestari dimaksudkan agar setiap
pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbang-an dan
kelestarian unsur lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi. Pengejawantahan asas
itu kemudian dilakukan dengan mengalokasi-kan kawasan hutan sesuai fungsinya
menjadi hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi. Secara khusus
diatur pula tentang perlindungan hutan dan konservasi alam. Pengaturan ini
dimaksud-kan untuk menjaga agar fungsi hutan tetap lestari. Oleh karena itu,
Undang-Undang ini merinci berbagai perbuatan yang dianggap memberi kontribusi
pada kerusakan fungsi hutan, menetapkan larangan-larangan serta mekanisme
penegakan hukumnya.
Negara yang dalam hal ini ditafsirkan
sebagai pemerintah memegang peran penting dalam penguasaan dan pengelolaan
sumber daya hutan. Pasal 4 menyebutkan bahwa semua hutan termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Penguasaan hutan oleh negara memberikan wewenang kepada pemerintah
(pusat) untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,
kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan status wilayah tertentu
sebagai kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara
orang dengan hutan serta perbuatan hukum mengenai kehutanan. Pengurusan hutan
meliputi kegiatan perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan latihan, penyuluhan kehutanan serta pengawasan.
Dengan demikian, pemerintah berfungsi sebagai pengatur, pengalokasi, pemberi
izin, perencana, pengelola, peneliti, pendidik, penyuluh sekaligus pengawas.
Pereduksian negara menjadi pemerintah
dalam konteks hak menguasai sumber daya hutan bertentangan dengan UUPA. Hak
menguasai negara menurut UUPA bisa dilimpahkan kepada daerah swatantra dan
masyarakat hukum adat tertentu. Dengan peran yang besar dari pemerintah itu
maka paradigma pengelolan sumber daya alam yang berpusat pada negara
(state-based forest management) tetap dipegang oleh undang-undang ini. Kalaupun
masyarakat mendapat peran maka peran itu hanyalah pelengkap. Hal ini merupakan
konsekuensi dari penerapan paradigma pengelolaan sumber daya alam oleh negara
yang menempatkan pemerintah dalam posisi sentral dan menentukan. Sebaliknya,
paradigma pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat (community-based forest
management) menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan,
sedangkan pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan administrator untuk
mendukung proses tersebut.
Perwujudan lain dari paradigma
pengelolaan hutan oleh negara dalam undang-undang ini tampak jelas dalam
pengaturan tentang masyarakat adat. Hal ini dimulai dari ketentuan yang tidak
mengakui adanya hutan adat sebagai hutan berdasarkan statusnya. Undang-undang
ini hanya mengakui hutan negara dan hutan hak sebagai hutan berdasarkan
statusnya. Sedangkan, hutan adat dinyatakan sebagai bagian dari hutan negara yang
berada dalam wilayah dan dikelola oleh masyarakat adat. Karena itu, hak-hak
masyarakat adat atas sumber daya hutan diposisikan sebagai bagian dari hak
negara. Hutan adat ditetapkan pemerintah sepanjang dalam kenyataannya
masyarakat hukum adat masih ada dan diakui keberadaannya. Pengukuhan keberadaan
dan hapusnya hak masyarakat adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang
disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat,
aspirasi masyarakat dan tokoh adat serta instansi terkait.
Ketentuan yang sifatnya birokratik dan
sangat mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi ini berpotensi mengingkari
keberadaan masyarakat adat secara faktual, dan pada gilirannya kemudian
mengingkari hak masyarakat adat untuk mengidentifikasikan dirinya sendiri
(self-identification) dan hak menentukan kehidupannya sendiri
(self-determination). Undang-undang ini juga mengingkari hak asasi masyarakat
adat untuk memiliki sumber daya alamnya. Hak-hak masyarakat adat yang diakui
hanyalah hak memanfaatkan sumber daya alam dan mengelola dalam skala terbatas
untuk keperluan hidup sehari-hari.
Meskipun memberi batasan pada hak
masyarakat adat, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 memberi
ruang cukup besar pada peran publik untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kehutanan.
Peran serta masyarakat diatur dalam sebuah bab tersendiri yang menyebutkan
antara lain hak masyarakat memanfaatkan hutan dan hasil hutan, mengetahui
rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan,
memberikan informasi dalam pembangunan kehutanan serta melakukan pengawasan
secara langsung atau tidak langsung. Selain itu, masyarakat juga berhak
mengajukan gugatan perwakilan (class action) terhadap tindakan yang merusak
hutan dan merugikan kehidupan masyarakat.
Undang-undang kehutanan ini belum
mampu sepenuhnya menerjemahkan gagasan hutan untuk kesejahteraan rakyat.
Meskipun kata-kata rakyat atau masyarakat banyak muncul, namun esensi
pengelolaan hutan oleh masyarakat belum terwujud. Selain peran besar yang
dimiliki pemerintah (mayoritas isi undang-undang mengatur pelaksanaan hak
menguasai negara), pengaturan sistem pengelolaan hutanpun tidak mendukung
sistem pengelolaan oleh masyarakat. Satuan pengelolaan hutan ditetapkan
berdasarkan fungsi (produksi, lindung dan konservasi), bukan berdasarkan satuan
wilayah sebagaimana dikenal masyarakat.
Kelembagaan pengelolaan hutan oleh
masyarakat dianggap terwakili oleh lembaga semacam koperasi. Koperasi dipandang
sebagai satu-satunya pilihan bagi masyarakat untuk mengembangkan perekonomiannya
seperti dipersepsikan oleh pemerintah. Karena itu, pengaturan seperti
ini secara nyata mengabaikan keberadaan institusi-institusi lokal
atau kelembagaan adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat/lokal.
Undang-undang ini juga tidak bisa diharapkan
untuk menyelesaikan banyak kasus-kasus konflik kehutanan terutama antara
masyarakat adat/lokal da antara masyarakat adat/lokal demegang konsesi
kehutanan. Konflik-konflik tersebut pada umumnya bersumber dari penguasaan atas
wilayah masyarakat adat/lokal yang di kemudian hari ditetapkan pemerintah
sebagai kawasan hutan. Proses penetapan kawasan hutan secara sepihak dengan
tidak melibatkan seluruh masyarakat, terutama masyarakat yang mempunyai hak
historis dan kultural pada kawasan hutan, merupakan akar konflik kehutanan yang
terjadi di berbagai daerah.
Undang-undang kehutanan ini justru
memperteguh cara penetapan kawasan hutan yang tidak adil dan tidak demokratis
itu. Pasal 81 menyebutkan bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum
undang-undang ini dinyatakan tetap sah. Sementara itu, pada bagian menimbang
butir c disebutkan bahwa pengurusan hutan harus menampung dinamika aspirasi dan
peran serta masyarakat, adat dan budaya serta tata nilai masyarakat yang
berdasarkan pada norma hukum nasional.
Ketidakpuasan masyarakat adat pada
proses penetapan kawasan hutan yang acapkali berujung pada konflik adalah salah
satu bentuk aspirasi masyarakat dan pertentangan antara norma hukum nasional
dengan norma-norma hukum adat dan nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat.
Dengan tetap diakuinya cara penunjukan dan penetapan kawasan hutan seperti
dimaksud dalam pasal-pasal Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 berarti
telah terjadi kontradiksi internal, karena mengingkari pernyataan
dalam butir c konsiderans undang-undang tersebut.
Semangat desentralisasi dalam
undang-undang ini dimuat dalam Pasal 66. Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan
pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah.
Namun kewenangan yang diserahkan itu hanyalah kewenangan kebijakan yang
bersifat operasional. Kebijakan umum dan mendasar tetap dipegang pemerintah
pusat. Pemerintah daerahpun tidak terlibat dalam proses penyusunan kebijakan pusat.
Ketentuan tentang desentralisasi semacam ini bertentangan dengan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 khususnya Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 10 ayat
(1).
Dari aspek kelembagaan, undang-undang
ini memberikan kewenangan terlampau luas kepada Departemen Kehutanan.
Departemen Kehutanan berwenang menetapkan status dan fungsi hutan. Khusus dalam
penetapan status hutan yang berkaitan dengan penguasaan tanah tidak ada satupun
ketentuan yang menyebutkan perlunya koordinasi antara Departemen Kehutanan
dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal ini berpotensi menimbulkan
perebutan kewenangan dalam pengaturan mengenai lahan hutan antar instansi
pemerintah serta tumpang tindih pengaturan dalam wilayah yang sama.
Penegakan hukum diatur cukup rinci
dalam undang-undang ini. Sanksi yang diberikan tidak hanya pidana tetapi juga
perdata dan administratif. Selain itu diatur juga tentang penyelesaian sengketa
kehutanan yang tidak hanya bisa dilakukan melalui pengadilan, tetapi juga upaya
penyelesaian sengketa kehutanan melalui jalur luar pengadilan (alternative
dispute resolution). Dari hasil kajian perundang-undangan yang terkait dengan
sumber daya alam dan lingkungan hidup di atas, memiliki karakteristik dan
kelemahan substansial seperti berikut:
·
Undang-undang
tersebut berorientasi pada eksploitasi (use-oriented) sehingga mengabaikan
kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, karena
semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan devisa negara.
·
Orientasi
pengelolaan sumber daya alam lebih berpihak pada pemodal-pemodal besar,
sehingga mengabaikan kepentingan dan akses atas sumber daya alam
serta mematikan potensi-potensi perekonomian masyarakat lokal.
·
Ideologi penguasaan
dan pemanfaatan sumber daya alam berpusat pada Negara, sehingga pengelolaan
sumber daya alam bercorak sentralistik.
·
Implementasi
pengelolaan yang dilakukan Pemerintah bersifat sektoral, sehingga sumber daya
alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi (ecosystem).
Implikasinya, bangunan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi
tidak terintegrasi dan tidak terkoordinasi antara sektor yang satu dengan
sektor yang lain, sehingga setiap sektor cenderung berjalan sendiri-sendiri
sesuai dengan visi sektornya masing-masing.
·
Undang-undang
tersebut tidak mengatur secara proporsional mengenai perlindungan hak-hak asasi
manusia (HAM) dalam penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber daya alam.
Dalam perkembangan selanjutnya,
setelah pemerintah menyadari adanya kelemahan-kelemahan substansial tersebut,
maka dilakukan upaya-upaya*untuk membuat undang-undang dan atau meratifikasi
konvensi PBB yang berkaitan dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang
lebih bercorak responsif. Hal ini dapat diindikasikan dari diberlakukannya
undang-undang seperti berikut:
·
Undang-undang Nomor
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
·
Undang-undang Nomor
24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
·
Undang-undang Nomor
5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati, dan
·
Undang-undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Walaupun demikian, jika dicermati dari
substansi perundang-undangan tersebut di atas, maka masih ditemukan adanya
kelemahan-kelemahan substansial terutama dalam pengaturan mengenai hal-hal
sebagai berikut :
·
Peran Pemerintah
yang masih mendominasi penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (state-based
resource management).
·
Keterpaduan dan
Koordinasi antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih lemah.
·
Hak-hak masyarakat
adat atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang belum diakui secara
utuh.
·
Partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih terbatas.
·
Transparansi dan
demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan yang belum diatur secara utuh.
·
Akuntabilitas
Pemerintah kepada publik dalam pengelolaan sumber daya alam yang belum diatur
secara tegas.
Selain itu, jika dicermati dari
perkembangan pembangunan hukum pada satu dekade terakhir ini, setelah
pemerintah meratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati menjadi
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang
Keaneka-ragaman Hayati, dan kemudian diberlakukannya (1) Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia; dan (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka prinsip-prinsip penting yang mendukung
pengelolaan sumber daya alam yang adil, demokratis, dan berkelanjutan belum
diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam perundang-undangan mengenai sumber
daya alam dan lingkungan hidup yang telah ada.
Namun demikian, dalam perkembangan
terakhir ada upaya untuk membuat arah kebijakan bagi pengelolaan sumber daya
alam sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam. Persoalan pelik pengelolaan
sumber daya alam yang diricikan antara lain dari tumpang tindih kewenangan
antar sektor, ketidaksinkronan kebijakan, konflik, kerusakan sumber daya alam,
kemiskinan, dan ketidakadilan, dicoba untuk diselesaikan melalui Ketetapan MPR
RI Nomor 1X/MPR/2001. Ketetapan MPR ini berangkat dari kesadaran bahwa
pengelolaan sumber daya alam menimbulkan penurunan kualitas lingkungan,
ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta
menimbulkan berbagai konflik. Oleh karena itu perlu arah pengelolaan sumber
daya alam yang mampu menjawab semua persoalan tersebut. Ketetapan MPR RI Nomor
IX/MPR/2001 diharap memberikan arah yang dimaksud.
Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001
merupakan landasan peraturan perundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam. Dengan ketentuan inilah maka Ketetapan MPR ini
menyebutkan pentingnya pengkajian ulang pada semua peraturan perundang-undangan
berkaitan dengan agraria/pengelolaan sumber daya alam. Atas dasar itulah maka
MPR menugaskan DPR bersama dengan Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut
pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut,
mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya
yang tidak sejalan dengan Ketetapan MPR tersebut (Pasal 6).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar