Indonesia
sebagai negara yang sedang membangun perekonomian negaranya, ingin mencoba
untuk dapat membangun bangsa dan negaranya sendiri tanpa memperdulikan bantuan
dari negara lain. Namun kenyataanya Indonesia sulit untuk terus bertahan
ditengah derasnya laju globalisasi yang terus berkembang dengan cepat. Dalam
kondisi seperti ini, Indonesia akhirnya terpaksa mengikuti arus tersebut,
mencoba untuk membuka diri dengan berhubungan lebih baik dengan bangsa lain
demi menunjang pembangunan bangsanya terutama dari segi perekonomian
nasionalnya.
Indonesia
sebenarnya pernah memiliki suatu kondisi perekonomian yang cukup menjanjikan
pada awal dekade 1980-an sampai pertengahan dekade 1990-an. Berdasarkan data
dari Badan Pusat Statistik Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun
1986 sampai tahun 1989 terus mengalami peningkatan, yakni masing-masing 5,9% di
tahun 1986, kemudian 6,9% di tahun 1988 dan menjadi 7,5% di tahun 1989. Namun
pada tahun 1990 dan 1991 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat angka yang sama
yakni sebesar 7,0%, kemudian tahun 1992, 1993, 1994, 1995, dan 1996,
masing-masing tingkat pertumbuhan ekonominya adalah sebesar 6,2%, 5,8%, 7,2%,
6,8%, dan 5,8%. Angka inflasi yang stabil, jumlah pengangguran yang cukup
rendah seiring dengan kondusifnya iklim investasi yang ditandai dengan
kesempatan kerja yang terus meningkat, angka kemiskinan yang cukup berhasil
ditekan, dan sebagainya. Namun, pada satu titik tertentu, perekonomian
Indonesia akhirnya runtuh oleh terjangan krisis ekonomi yang melanda secara
global di seluruh dunia da tahun 1998. Ini ditandai dengan tingginya angka
inflasi, nilai kurs Rupiah yang terus melemah, tingginya angka pengangguran
seiring dengan kecilnya kesempatan kerja, dan ditambah lagi dengan semakin
membesarnya jumlah utang luar negeri Indonesia akibat kurs Rupiah yang semakin
melemah karena utang luar negeri Indonesia semuanya dalam bentuk US Dollar.
Adanya
kerapuhan perekonomian Indonesia tersebut disebabkan dengan tidak adanya
dukungan mikro ekonomi yang kuat. Permasalahan yang masih tidak dapat
diselesaikan sampai saat ini adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang
terlalu tinggi di Indonesia, sumber daya manusia Indonesia kurang kompetitif,
jiwa entrepreneurship yang kurang, dan sebagainya.
Arus
masuk modal asing (capital inflows) juga berperan dalam menutup gap devisa yang
ditimbulkan oleh defisit pada transaksi berjalan. Selain itu, masuknya modal
asing juga mampu menggerakkan kegiatan ekonomi yang lesu akibat kurangnya modal
(saving investment gap) bagi pelaksanaan pembangunan ekonomi. Modal asing ini
selain sebagai perpindahan modal juga dapat memberikan kontribusi positif
melalui aliran industrialisasi dan modernisasi. Akan tetapi apabila modal asing
tersebut tidak dikalola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif yang besar
terutama apabila terjadinya capital flows reversal.
Pada
dasarnya, dalam proses pelaksanaan pembangunan ekonomi di negara berkembang seperti
di Indonesia, akumulasi utang luar negeri merupakan suatu gejala umum yang
wajar. Hal tersebut disebabkan tabungan dalam negeri yang rendah tidak
memungkinkan dilakukannya investasi yang memadai sehingga banyak pemerintah
negara yang sedang berkembang harus menarik dana dan pinjaman dari luar negeri.
Selain itu, defisit pada neraca perdagangan barang dan jasa yang tinggi
berhubungan juga dengan dilakukannya impor modal untuk menambah sumber daya
keuangan dalam negeri yang terbatas.
Bagi
negara berkembang termasuk Indonesia, pesatnya aliran modal merupakan
kesempatan yang bagus untuk memperoleh dalam pembiayaan pembangunan ekonomi.
Dimana pembangunan ekonomi yang sedang dijalankan oleh pemerintah Indonesia
merupakan suatu usaha berkelanjutan yang diharapkan dapat mewujudkan masyarakat
adil dan makmur sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, sehingga untuk dapat
mencapai tujuan itu maka pembangunan nasional dipusatkan pada pertumbuhan
ekonomi. Namun karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki (tercermin pada
tabungan nasional yang masih sedikit) sedangkan kebutuhan dana untuk
pembangunaan ekonomi sangat besar. Maka cara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi
itu adalah dengan berusaha meningkatkan investasi.
Pada
pertengahan dekade 1980-an, modal asing yang masuk ke Indonesia masih
didominasi oleh investasi langsung atau penanaman modal asing (PMA) dan
pinjaman luar negeri (terutama pinjaman pemerintah). Baru setelah pemerintah
melakukan deregulasi di sektor keuangan/perbankan yang dimulai sejak awal
1980-an, yang antara lain membuat sektor tersebut, termasuk pasar modal,
berkembang dengan pesat, arus modal swasta jangka pendek dari luar negeri mulai
mengalir ke dalam negeri. Penanaman Modal Asing (PMA) sendiri, berdasarkan data
dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sampai akhir Juli XXXX meningkat
menjadi US$ 3.713.4 juta dengan realisasi proyek yang telah disetujui
pemerintah sebanyak 563 proyek.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai komponen dalam
neraca pembayaran turut mempengaruhi keadaan perekonomian di suatu negara.
Negara-negara yang umumnya merupakan negara yang sedang berkembang masih terus
berusaha untuk menyempurnakan ekonomi internasionalnya.
http://dellyherdiana.blogspot.com/2011/05/neraca-pembayaran-arus-modal-asing-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar